KH Bisri Syansuri (2): Biografi Intelektual, Aktivitas, dan Karya
Sabtu, 24 Agustus 2024 | 09:00 WIB
Yusuf Suharto
Kolomnis
Asal Muasal dan Pernikahan
Keluarga leluhur Kiai Bisri Syansuri adalah keluarga yang terpandang dan terhormat. Dalam catatan Gus Dur, leluhur Kiai Bisri menurunkan beberapa ulama besar dalam berbagai generasi, seperti KH Kholil Lasem dan KH Baidlowi Lasem. Sehingga bukan hal yang mengherankan jika dari tradisi yang demikian kuat kaitannya dengan penguasaan keagamaan semacam itu tumbuh seorang yang kemudian hari akan menjadi sosok ulama terkemuka.
Kiai Bisri Syansuri dilahirkan oleh seorang ibu yang bernama Siti Rohmah (Mariah) dan ayah yang bernama Syansuri Abdus Shomad, di desa Tayu Wetan, Pati, Jawa Tengah pada 23 Agustus 1887.
Syansuri dan Siti Rohmah dianugerahi lima (5) putra. Anak pertama dari dua pasangan suami istri ini adalah seorang lelaki bernama Mas’ud. Kedua adalah seorang anak perempuan, bernama Sumiyati. Mustajab, yang kemudian dikenal sebagai Bisri Syansuri adalah anak ketiga, dan setelah itu menyusul Muhdi dan Syafa’atun. Nama Mustajab ini kadang masih digunakannya ketika memberi identitas kitab-kitab koleksinya pada masa belajar. Yang jelas, nama Bisri adalah nama yang digunakan setelah naik haji.
KH Bisri Syansuri menikah dengan Nyai Hj. Nur Khodijah pada 1914, dan pada tahun yang sama, kedua suami isteri baru itu kembali ke tanah air. Dari pernikahan tersebut KH Bisri Syansuri mendapatkan enam keturunan, putra pertama yaitu Ahmad Athoillah, Muasshomah, Sholihah, Musyarofah, Muhammad Ali Ashab (Ali Abdul Aziz), dan Muhammad Shohib.
Para Guru Kiai Bisri
Sejak kecil, Bisri belajar dari berbagai para ulama yang menguasai beragam bidang keilmuan. Salah satu guru semasa kecilnya di samping ayahnya sendiri adalah seoraang ulama yang kepribadiannya sangat memengaruhi Bisri, yaitu Kiai Abdus Salam, ulama ahli Al-Qur’an dan fikih yang membimbingnya belajar ilmu nahwu, fikih, tasawuf, tafsir, dan hadis.
Ketika menginjak usia 15 tahun, Bisri mulai belajar kepada para ulama dari luar daerahnya, di antaranya KH Kholil Kasingan Rembang, KH Syu’aib Sarang Lasem, kemudian berlanjut berguru kepada ulama terkenal Madura, Syaikhona Kholil Bangkalan pada 1901, hingga akhirnya dalam masa pendidikan itu ia berkawan karib dengan seorang pemuda yang cerdas dan cekatan, Abdul Wahab Hasbullah dari Tambakberas Jombang.
Pada tahun 1906 Bisri bersama Wahab belajar di Pesantren Tebuireng, asuhan KH Hasyim Asy’ari, sosok ulama terkemuka Jawa, terutama dalam penguasaannya dalam ilmu hadits. Di Tebuireng, selama enam tahun pemuda Bisri memperdalam ilmu pengetahuan agamanya tentang fikih, tauhid, hadis, sejarah, dan lain-lain. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Tebuireng, pada tahun 1911 ia berangkat melanjutkan pendidikan di Mekah atas ajakan sahabat karibnya, Abdul Wahab Hasbullah.
Bisri Syansuri menuntut ilmu di kota suci Mekkah selama empat tahun. Beberapa gurunya di kota suci ini adalah Syekh Muhammad Bakir, Syekh Muhammad Said Yamani, Syekh Sholeh Bafadhol, Syekh Ibrahim Madani, Syekh Umar Bajened, Syekh Jamal Al-Maliki, Syekh Ahmad Khatib Padang, Syekh Syu’aib Daghistany, dan Syekh Mahfudz Tremas. Tiga ulama yang disebut terakhir adalah juga guru dari KH Hasyim Asy’ari.
Gagasan Pesantren Putri dan Kepedulian Isu Perempuan
Tahun keemasan bangkitnya masyarakat muslim di Nusantara terjadi terutama pada era 1910-an hingga 1920-an dengan berdirinya organisasi modern muslim antara lain Muhammadiyah pada 1912, dan Nahdlatul Ulama pada 1926.
Kiai Bisri merintis Pesantren Denanyar pada tahun 1917 dengan cara menyekat sebagian ruang surau untuk kamar tempat tinggal para santri. Sistem pendidikan yang digunakan bernama sorogan, yaitu bimbingan individual untuk menguasai teks-teks kitab kuning secara bertahap. Pendidikan dengan sistem itu dilakukan Kiai Bisri secara tekun selama dua tahun dengan santri awal empat orang, yaitu Abi Darda’, Muhadi Mustofa, Hasbullah, dan Nur Salim.
Pada waktu itu KH Bisri Syansuri, sebagaimana tradisi berbagai pesantren, hanya memfasilitasi pemondokan santri putra dengan gemblengan penguatan ajaran Islam sebagai filter budaya yang dikenalkan penjajah.
Sebagai gagasan bersama, dua tahun setelah perintisan, baru kemudian Kiai Bisri Syansuri dan Bu Nyai Nur Khodijah, pada 1919 mendirikan pesantren putri di Denanyar, dengan menampung dan membimbing putri-putri anak tetangga di beranda belakang Ndalem Kasepuhan. Ikhtiar mengasramakan santri putri ini kemudian terdengar oleh Hadratus Syekh, dan kemudian beliau berkunjung ke Denanyar ingin melihat langsung inovasi murid tercintanya ini dengan tanpa ada tanda-tanda penolakan. Sikap yang dimaknai sebagai restu ini membuat keduanya semakin mantap melangkah. Kemudian pada 1921, pesantren ini dengan lebih merata menerima secara terbuka santri putri dari berbagai daerah, yang pada puncaknya di 1930 didirikan Madrasah Diniyah Putri Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar.
“Perlu diingat, bahwa Pondok Putri Denanyar adalah merupakan satu-satunya pondok putri yang ada pada masa itu,” demikian KH Abdul Aziz Masyhuri dalam “In Memoriam KH M Bisri Syansuri Pendiri Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif dan Pendiri NU yang Terakhir Wafatnya.”
Gus Dur, salah seorang cucu Kiai Bisri mendeskripsikan tata busana santri putra dengan, “ KH Bisri Syansuri memberikan identitas tersendiri bagi para santri perempuannya, yaitu mengenakan atasan berupaya kebaya dan bawahan berupa ‘sewek’ atau sarung kemudian menggunakan kerudung sebagai penutup aurat (rambut) yang hanya diselempangkan.”
Kepedulian Kiai Bisri pada pendidikan perempuan ini juga selaras dengan keputusan Nahdlatul Ulama dari masa ke masa. Para ulama Nahdlatul Ulama terus memproduksi keputusan keorganisasian yang membela hak-hak perempuan. Dalam Konferensi Besar (Konbes) Ulama NU pada 1957 misalnya, NU memutuskan bahwa menurut hukum Islam perempuan diperbolehkan menjadi anggota DPR/DPRD sesuai dengan kaedahnya. Konbes Ulama NU pada tahun 1960 memutuskan membolehkan pembatasan keturunan atau perencanaan keluarga (family planning).
Merujuk tahun 1960 bermakna bahwa fatwa ulama NU ini sudah terjadi pada Orde Lama, yaitu kepemimpinan Presiden Soekarno. Di tahun itu, di antara ulama terpandang pakar fikih dan Ushul fikih adalah KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syansuri. Jadi Konbes NU yang menjaga kemaslahatan perempuan ini muncul jauh-jauh masa ketika sebelum diperkenalkan program KB pada tahun 1967 oleh pemerintah Orde Baru, Presiden Soeharto. Program pemerintah itu akhirnya juga direspon PBNU pada 1969, ketika Syuriyah PBNU mengeluarkan keputusan tentang Keluarga Berencana (KB).
Kemudian Mukti Ali, Menteri Agama periode 1971-1978, memohon pandangan tujuh ahli agama, dan di antaranya adalah Kiai Bisri Syansuri dengan pelaksanaan Musyawarah Ulama Terbatas mengenai Keluarga Berencana Dipandang Dari Segi Syariat Islam, yang berlangsung pada 26-29 Juni di Jakarta. Pada 28 Juni 1972, Kiai Bisri Syansuri, sebagai Rais ‘Aam PBNU, menyampaikan fatwa tanggapan tentang KB. Pada 29 Juni kemudian keluar keputusan tujuh para ulama itu.
Kiai Bisri, sebagai representasi Nahdlatul Ulama, merestui program Keluarga Berencana (KB), yang bertujuan untuk kemaslahatan keluarga. Dalam kesaksian Kiai Abdul Aziz Masyhuri ijtihad progresif itu mengundang kekaguman pemimpin luar negeri dari negeri-negeri muslim berkunjung ke Pesantren Denanyar, untuk mengambil inspirasinya.
Sholihan, santri Denanyar pada tahun 1970-an memberi kesaksian bahwa pada pertengahan tahun 70-an ada dua belas perwakilan negara yang silaturahim dan sowan kepada kiai Bisri Syansuri.
"Alhamdulillah, saya sendiri yang menyerahkan buku Fatwa KB Kiai Bisri Syansuri itu kepada para tamu perwalian 12 negara di Ndalem Kasepuhan. Saya mencium tangan mereka. Saya juga mencium tangan Menteri Agama, ketika itu. Ketika Kiai Bisri berpidato itu, kemudian diterjemahkan oleh Gus Dur dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris, bertempat di Ndalem Kasepuhan Pondok Denanyar," tutur bapak empat anak ini.
Demikianlah, terlihat jelas bahwa Kiai Bisri dalam banyak sikapnya selalu berpegang teguh pada tekstualitas fikih dan kaedahnya. Namun, menyangkut hajat dan maslahat masyarakat banyak, dalam hal ini misalnya terkait dengan KB, Kiai Bisri melakukan kontekstualisasi fikih, sekaligus membuktikan sikap kenegaraannya; mendukung pemerintah terkait program yang sejalan dengan prinsip agama.
Wibawa Kiai Bisri dalam Pusaran Politik Perjuangan
Di samping sebagai seorang ulama, Kiai Bisri adalah seorang pejuang yang aktif dalam pertahanan negara.Tercatat Kiai Bisri pernah menjadi Kepala Staf Markas Oelama Djawa Timoer (MODT) yang berkedudukan di Waru Sidoarjo, juga Ketua Umum Markas Pertempuran Barisan Hizbullah Sabilillah (MPHS). Pada masa perang gerilya, pesantrennya harus ditutup sementara waktu agar gerak perjuangannya menjadi lebih leluasa. Jiwa panglima ini terus menjadi jati diri Kiai Bisri Syansuri, yang membuatnya tidak takut menghadapi arena juang kapan pun juga.
Kiai Bisri senantiasa berwibawa dan disegani siapa saja. Ketika kakek Gus Dur ini menjadi Rais ‘Aam PBNU, rupanya menjadi daya tarik tersendiri bagi Jenderal Soeharto, Presiden di masa orde baru. Setidaknya ada dua fakta bahwa Kiai Bisri demikian dihormati dan disegani oleh Presiden Soeharto.
Pertama, pada 1976, secara diam-diam Pak Harto sowan ke Kiai Bisri di Denanyar Jombang. Kedatangan Presiden Republik Indonesia ke kediaman Kiai Bisri di Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar itu, tidak secara resmi, alias diam-diam, tanpa pengawalan resmi, hanya ditemani oleh seorang Letnan Kolonel. Istilahnya kunjungan atau perjalanan incognito.
Waktu itu, yang menjamin keamanan Pak Harto adalah menantu cucu Kiai Bisri, yaitu KH Hamid Baidhawi, suami Nyai ‘Aisyah binti KH Wahid Hasyim ( KH A Wahid Hasyim adalah putra Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, mantan Menteri Agama —yang merupakan suami dari Nyai Sholihah binti KH Bisri Syansuri). Kedatangan Pak Harto ini membuktikan bahwa Mbah Bisri mempunyai kedudukan penting di mata Presiden kedua Indonesia ini, karena tak sembarang orang disowani Pak Harto.
Fakta kedua adalah saat Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berdiri. “Supaya menjadi persatuan yang sebenarnya, maka diusulkan agar persatuan itu diikat dengan simbol Ka’bah,” demikian usulan Mbah Bisri, sebagaimana dituturkan oleh Aisyah.
Sementara itu, ada pihak lain menginginkan simbol Bintang. Rapat yang juga dihadiri oleh Pak Harto ini, mengalami perdebatan yang cukup tajam dan sengit. Mbah Bisri kemudian berujar,
“Sudah, gak usah ada PPP saja. Kalau tidak memakai simbol Ka’bah, tidak usah ada partai,” tegasnya. Pak Harto yang datang dalam rapat yang menegangkan itu tak berkutik, takluk dan menurut pada keinginan Mbah Bisri, dan menyetujuinya juga. Jadilah Ka’bah sebagai lambang PPP hingga saat ini.
Terkait simbol ini, Kiai Aziz Masyhuri memberi kesaksian bahwa sebelum Kiai Bisri ngotot agar PPP diberi lambang Ka’bah, ternyata Kiai Bisri sebelumnya sudah berdiskusi atau berdebat dengan Jenderal Amir Mahmud. Mahmud memilih bintang dan Kiai Bisri memilih Ka’bah sebagai simbol persatuan. Debat berlangsung seru, dan ternyata logika Amir Mahmud mampu dipatahkan Kiai Bisri. Tahu dirinya kalah argumen, Amir berpesan ke Kiai Bisri:
“Mohon perdebatan yang membuat saya kalah ini jangan disebarkan.”
Namun, dengan cerdik yang bernuansa humor, Kiai Bisri dalam suatu pertemuan menyatakan, “Saya dipesani Pak Amir Mahmud agar tidak mengumumkan kekalahannya dalam berargumen tentang simbol PPP.”
Demikianlah Kiai Bisri Syansuri, ulama yang tegas seperti Sayyidina Umar ibn Khattab, namun juga lentur dalam bersikap yang digambarkan sebagai sosok yang tegas berfikih dan lentur bersikap.
Keseharian dan Keteladanan Kiai Bisri
Mengamati Kiai Bisri dari berbagai foto, dapat disimpulkan bahwa beliau berkecenderungan suka memakai baju putih, yang kerap dipadukan dengan jas. Dari foto kita juga bisa melihat bahwa beliau punya tahi lalat di bawah kuping leher kiri. Beliau terbiasa memakai kopiah putih, atau berbalutkan serban putih. Beliau sama sekali tidak pernah memakai kopiah hitam.
Kiai Bisri dikenal sebagai sosok yang disiplin dan tegas. Cerita santri dan alumni dari masa ke masa bahwa beliau selalu istiqamah shalat lima waktu dengan berjamaah adalah masyhur. Jika ada tamu yang kebetulan pas datang pada waktu Jama’ah, maka tamu ini diarahkan untuk ikut jamaah di masjid.
"Yai Bisri Syansuri itu ketika ngimami shalat Shubuh istiqamah membaca surat alam taro (al Fil) dan alam Nasyrah. Wiridan beliau standar saja. Beliau punya rutinan mengaji di hadapan masyarakat pada Selasa siang di Masjid. Beliau jika Ramadhan biasa mengaji kitab az -Zubad. Pengajian Az-Zubad juga diikuti santri putri, tiap bakda Tarawih hingga pukul 24.00," ujar Thoyyibah.
Islam mencintai kerapian dan kebersihan, demikian juga Kiai Bisri. Thoyyibah, santri asal Madura yang menangi masa akhir Kiai Bisri bercerita, “Kiai Bisri Syansuri itu sosok kiai yang mencintai kebersihan. Suatu saat dari jauh saya melihat beliau memungut sampah sendirian kemudian membuangnya ke tempat sampah dan tanpa memanggil santri.”
Apakah Kiai Bisri Syansuri meninggalkan amaliyah doa? Ya, tentu ada. Bangsa Indonesia pada 12 Jumadil Ula 1391 Hijriah akan mengadakan gawe besar Pemilihan Umum, bertepatan dengan Senin Wage 05 Juli 1971. Sebagai pengayom masyarakat, para ulama giat ikhtiar zahir dan batin untuk kesuksesan pemilihan umum tersebut, di antaranya dengan pengijazahan doa-doa dan wirid. Kiai Bisri Syansuri ikut menyimpan dan mengijazahkan satu lembar wirid doa kemenangan pemilu itu dengan membubuhkan tanda tangan beliau sendiri. Kiai Bisri juga mengoleksi banyak kitab yang tersimpan rapi di Perpustakaan Ndalem Kasepuhan hingga kini, dan di sela-sela kitab koleksi beliau kadang ada beberapa wirid doa tulisan tangan ijazahan doa-doa, antara lain Shalawat Nur Dzaty.
Hadratussyekh, Kiai Wahab dan Kiai Bisri
Biasanya yang disebut pendiri NU itu adalah tiga kiai, yaitu Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, Kiai Abdul Wahab Hasbullah, dan Kiai Bisri Syansuri, walau sebenarnya pendiri NU itu banyak, yaitu para ulama besar selain tiga kiai utama tersebut.
Kiai Kholil Bangkalan yang merupakan guru dari Kiai Hasyim juga disebut sebagai pendiri NU, begitu juga Kiai Faqih Maskumambang Gresik yang disebut-sebut sebagai Wakil Rais Akbar. Kiai Mas Alwi Abdul Aziz yang menamai Nahdlatul Ulama, Kiai Ridwan Abdullah yang membuat lambang NU, juga Kiai Abdul Chalim Leuwimunding yang merupakan Wakil Katib dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pertama kali, adalah di antara para ulama pendiri Nahdlatul Ulama, dan masih banyak lagi.
Ketiga beliau disebut tiga pendiri NU karena ketiganya adalah di antara yang berperan awal pembentukan NU. Juga karena ketiga kiai itu adalah pimpinan tertinggi di NU secara berurutan. Kiai Hasyim Asy’ari adalah pemimpin tertinggi NU yang pertama, sebagai Rais Akbar (1926-1947). Beliau wafat digantikan oleh KH Abdul Wahab Hasbullah (1947-1971), dan ketika wafat digantikan KH Bisri Syansuri (1971-1980), dengan jabatan tertinggi di NU, Rais 'Aam.
Ketiga pendiri Nahdlatul Ulama ini pernah berfoto bersama dalam satu frame, yaitu dalam Muktamar NU ke-14 di Magelang pada 1939. Pada tahun ini Kiai Bisri Syansuri berusia 52 tahun. Dalam foto satu frame itu antara lain juga ada foto KH R. Asnawi Kudus, KH Mahfudz Kudus, KH Baedhowi Lasem, KH Dahlan, dan KH Siroj Magelang.
Kiai Wahab dan Kiai Bisri kerap disebut Dwi Tunggal dalam NU, tapi uniknya hanya ada dua foto Kiai Wahab dan Kiai Bisri dalam satu frame, dengan pose berdua saja. Foto yang diambil tahun 1956 itu adalah di ndalem (kediaman) Kiai Wahab di Tambakberas, yaitu di teras depan ndalem, dan teras belakang ndalem. Keberadaan dua foto ini pun karena sebagai pemotretan untuk keperluan penyusunan buku Sejarah Hidup KH A. Wahid Hasyim (Menteri Agama, dan menantu KH Bisri Syansuri).
Walaupun memang, di antara ketiga pendiri NU, yang paling banyak ditemukan adalah foto KH Bisri Syansuri, kemudian menyusul KH Abdul Wahab Hasbullah. Namun sayangnya, hingga kini baru ditemukan lima foto KH Hasyim Asy'ari, baik sendiri maupun bersama tokoh lain.
Kiai Hasyim Asy'ari meninggal pada 1947. Kiai Wahab meninggal pada 1971, dan KH Bisri Syansuri meninggal pada 1980. Dari masa kewafatan ini, menjadi wajar yang lebih banyak ditemukan adalah foto KH Bisri Syansuri. Dan di antara ketiga pendiri NU ini, hanya Kiai Bisri yang fotonya berwarna. Sebab, film atau klise foto berwarna baru masuk dan populer di Indonesia setelah tahun 1971.
***
Menurut cerita KH A Wahid Hasyim, putranya, jika pada satu saat Hadratussyekh menghadapi masalah yang cukup berat sehingga tak bisa diatasi sendiri, maka orang pertama yang dimintai pendapatnya adalah KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syansuri, dua ulama besar yang masing-masing memimpin Pesantren Tambakberas dan Denanyar. Tiga tokoh ulama besar ini merupakan tri tunggal yang masing-masing mempunyai ma'iyah atau nilai kelebihan, tetapi saling memerlukan antara yang satu kepada lainnya.
Sewaktu Kiai Wahab terpilih menjadi Rais Akbar sepeninggal Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari maka jabatan itu beliau tolak. Beliau merasa jabatan Rais Akbar hanya pantas bagi Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari saja. Akhirnya jabatan Rais Akbar diganti dengan Rais ‘Aam. Sewaktu Muktamar NU di Bandung tahun 1967 muktamirin memilih Kiai Bisri Syansuri sebagai Rais ‘Aam karena KH Wahab Hasbullah sakit dan dianggap oleh sebagian muktamirin sudah udzur, sehingga beberapa muktamirin merasa kasihan. Kemudian Kiai Bisri langsung naik di atas podium dan berkata lantang: “Saya tidak bersedia dicalonkan maupun dipilih menjadi Ra’is ‘Aam selagi KH Wahab Hasbullah masih ada.” Demikian kisah yang antara lain ditulis KH Abdul Aziz Masyhuri dalam buku Biografi KH Bisri Syansuri.
Pola hubungan yang mengaitkan Kiai Bisri Syansuri, Kiai Wahab Hasbullah dan Hadratussyekh Hasyim Asy’ari ini tergambar sebagaimana diungkapkan oleh Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) bahwa hubungan ketiganya selayaknya Rasulullah dengan dua muridnya yang terkasih yaitu Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar bin Khattab. Dua santri Rasulullah tersebut, yang satu memiliki perilaku lembut, dan satunya tegas. Kiai Bisri Syansuri bersikap tegas karena dilandasi keilmuan fikihnya kemudian ditambah dengan karakter beliau yang sudah berwatak demikian dari semula. Sehingga sikap tegas beliau ini bukan hanya dibentuk oleh pengetahuan fikihnya semata, tetapi juga karena karakter bawaan beliau sejak lahir. Seperti halnya Sayyidina Umar yang tahu persis apa yang diajarkan Rasulullah, tapi sikap beliau, pribadi beliau, karakter beliau jugalah yang menentukan bahwa beliau memang tegas.
Ahli Bahtsul Masail
Bahtsul masail adalah kegiatan ilmiah yang marak di kalangan para ustadz dan kiai,yang merupakan alumni madrasah, dan pesantren. Dahulu, para ulama Jombang menyelenggarakan forum ilmiah ini dengan koordinasi imaroh (takmir) Masjid Kauman Utara, Jombang tiap 40 hari sekali. Masjid Kauman adalah masjid besar yang berlokasi di wilayah Pasar Legi Jombang.
Selepas wafatnya Kiai Bisri, lima puluh masalah sosial keagamaan yang berhasil diputuskan pada masa Kiai Bisri Syansuri masih hidup itu berhasil diterbitkan pada 15 April 1981 dengan tanda tangan KH Mahfudz Anwar (ketua) dan H Abdul Aziz Masyhuri (sekretaris) dengan judul Muqarrarat Syura Min Ulamai Jombang (keputusan musyawarah ulama Jombang).
Kiai Bisri Syansuri sendiri ketika beliau masih hidup, adalah sebagai ketua musyawarah ulama Jombang ini dengan sekretaris H Abdul Aziz Masyhuri. Adapun anggota musyawarah ulama ini antara lain adalah KH Adlan Aly, KH Manshur Anwar, KH Mahfudz Anwar, KH Abdul Fattah Hasyim, KH Syansuri Badawi, KH Dahlan Kholil, KH Abdul Hamid, Kiai Muhdhor, dan KH Syansun.
Tradisi ini adalah bagian tanggung jawab para ulama dalam dakwah membimbing umat, memecahkan problematika yang berkembang. Tradisi Bahtsul Masail kemudian menjadi bagian dari program kerja Nahdlatul Ulama, dengan adanya kelembagaan yang memfokuskan dalam wujud lembaga bahtsul masail.
Di NU sendiri, beberapa bulan sejak berdirinya pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926), tepatnya pada Kongres I Nahdlatul Ulama pada 13-15 Rabiut Tsani 1345 (21-23 Oktober 1926) diselenggarakan bahtsul masail pertama sebagai bagian rangkaian acara Kongres Nahdlatul Ulama.
Dalam acara resmi NU, bahtsul masail terlaksana dalam agenda Kongres (kemudian berubah istilah menjadi Muktamar), Konferensi Besar (Konbes), dan Musyawarah Nasional Alim Ulama (Munas). Namun, ada pula bentuk bahtsul masail yang dihadiri para pimpinan NU, yang sifatnya kultural, misalnya dalam bentuk majelis tashih (tim verifikasi), dan bentuk lainnya. Pada 08 hingga 15 Shafar 1387 (1959), bertempat di Pesantren Denanyar Majelis Tashih yang terdiri dari KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, KH Muhammad al-Karim Surakarta, KH Zubair Umar, KH Kholil Jombang, KH Sayuthi Abdul Aziz Rembang. Memverifikasi hasil-hasil bahtsul masail.
Menarik sekali, kenapa tim verifikasi yang mengkaji permasalahan ilmiah keagamaan itu berlangsung di Jombang dan khususnya di Pesantren Denanyar, asuhan salah seorang pendiri NU, KH Bisri Syansuri. Penulis menduga di samping posisi istimewa Kiai Bisri Syansuri yang dikenal sebagai pakar fiqih, yang oleh Gus Dur disebut ‘Pecinta Fiqh Sepanjang Hayat’, Denanyar cukup dikenal sebagai pesantren yang mempunyai perpustakaan dengan koleksi kitab-kitab besar yang relatif lengkap.
Majelis tashih berikutnya, lagi-lagi juga bertempat di Pesantren Denanyar, terkait verifikasi kitab al-Kawakib al-Lamma'ah, sebuah karya tentang sejarah Aswaja, penamaan, identitas, dan relasinya dengan aliran atau organisasi lain. Kitab ini adalah karya Kiai Abi Fadhal Senori Tuban (w. 1991). Awal kali ditulis, kitab ini relatif tipis dengan judul al-Kawakib al Lammaah, ditulis pada 1381 H (1961 M).
Matan kitab ini diajukan pada Muktamar NU tahun 1962 (1382 H), di Solo, dan mendapatkan penerimaan yang baik. Bahkan PBNU membentuk majelis tashih. Tim ini terdiri dari sepuluh kiai yang meneliti kitab ini. Sepuluh kiai ini, termasuk kiai dari Kalimantan, membahas dan mentashihnya di Ndalem Kasepuhan Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar pada akhir 1383 H (1963 M).
Cara Kiai Bisri Mengkader Kiai
Kiai Bisri Syansuri adalah seorang kiai pengkader. Di antara yang dikadernya aadalah Gus Dur dan Kiai Abdul Aziz Masyhuri. Melihat Gus Dur, cucunya yang cerdas itu, pada hasil Muktamar tahun 1979, dimasukkan dalam struktur Syuriyah PBNU. Sebelumnya Gus Dur juga banyak dilibatkan dalam pengelolaan pesantren.
Pada saat Aziz Masyhuri masih bujang, ia menulis suatu kitab dan hendak ditashihkan ke para ulama. Para ulama itu kemudian menyarankan agar Aziz mentashih kepada Kiai Bisri Syansuri Denanyar. Akhirnya ketika sudah sowan kepada Kiai Bisri, Aziz muda justru ditahan agar tetap di Denanyar saja. Kemudian Aziz diambil sebagai cucu menantu. Terjadilah pernikahan Kiai Aziz dengan salah satu cucu Kiai Bisri, Ning Anik Aziz Bisri. Gus Dur, dan KH Abdul Aziz adalah di antara intelektual NU yang dibesarkan Kiai Bisri, karena dilibatkan dalam forum keagamaan. Keduanya juga tercatat sebagai sekretaris Yayasan Mamba’ul Ma’arif Denanyar, dengan pimpinan tertinggi, KH Bisri Syansuri.
Sebagai kiai sepuh dan Rais ‘Aam, Kiai Bisri Syansuri bersama Kiai Mahrus Ali Lirboyo, Kiai As’ad Syamsul Arifin Situbondo, KH Mustain Romly Rejoso dan Kiai M. Zaini Mun’im Probolinggo bertindak sebagai penasehat dalam sebuah asosiasi para kiai muda pada awal tahun 70-an awal yang bernama "Musyawarat Generasi Muda Penerus Pondok Pesanteren Se Tanah Air", dan Gus Dur duduk dalam kepengurusan sebagai ketua tiga.
Asosiasi ini dipimpin para kiai muda, dan yang bertindak sebagai ketua umum dan Sekretaris Umum adalah paman Gus Dur sendiri, yaitu KH Yusuf Hasyim dan KH Abdul Aziz Bisri.
Korespondensi, Peninggalan dan Karya Kiai Bisri
Peninggalan Kiai Bisri Syansuri masih banyak yang disimpan rapi, atau masih digunakan. Contohnya, meja marmer Kiai Bisri Syansuri, yang melegenda, karena meja marmer ini adalah saksi bisu adu argumentasi antara Kiai Wahab Hasbullah dan Kiai Bisri Syansuri di Ndalem Kasepuhan Pesantren Denanyar, yang ketika itu disaksikan sekitar 40 kiai.
Kiai Bisri juga memiliki Bencet sebagai alat tanda waktu istiwa' yang dulu dipasang di depan Ndalem Kasepuhan.
Apakah Kiai Bisri Syansuri mempunyai karya atau tulisan? Gus Baha’ dalam pengajian peringatan Haul KH Bisri Syansuri menyatakan bahwa mustahil seorang alim seperti Kiai Bisri tidak menghasilkan karya tulis.
Dan memang benar pernyataan pakar tafsir dan fikih ini, karena berdasar penelusuran dokumen yang tersimpan rapi di perpustakan ndalem kasepuhan, Kiai Bisri menulis beberapa karya. Pertama adalah kumpulan Fatwa beliau tentang KB, kedua beberapa fatwa catatan tambahan atau koreksi beliau atas hasil Bahtsul Masail PBNU yang ditranskrip oleh KH Abdul Aziz Masyhuri dalam Risalah Akhir Sanah Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif, dan ketiga beberapa naskah teks pidato, antara lain ketika beliau berpidato pengarahan pada Pembukaan Kongres Jam’iyyah Ahli Thariqah Al-Mu’tabaroh keempat di Semarang pada 1968. Naskah pidato dengan delapan halaman Arab Pegon itu memuat pokok-pokok pemikiran Kiai Bisri tentang dunia tarekat dan serba serbi persoalannya.
Kemudian, setidaknya ada dua artikel Kiai Bisri yang dimuat dalam majalah Suara Nahdlatul Ulama yang pertama terbit pada tahun 1346 H/1927 M). Di majalah yang ditulis dengan huruf Arab pegon ini kita dapat menjumpai sejumlah tulisan para kiai sepuh semisal KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Ahmad Dahlan bin Ahyath, KH Bisri Syansuri, dan para kiai sepuh lain.
Khusus KH Bisri Syansuri, ada dua tulisan pendek yang dinisbatkan kepadanya. Pertama, dimuat di Majalah Suara NU edisi tahun 1346 H yang mengulas tentang persoalan fikih. Kedua, dimuat di Majalah Suara NU edisi tahun 1347 H yang mengulas nasihat sang guru, KH Hasyim Asy’ari, tentang pentingnya mendidik dan membekali putra-putri dengan bekal ilmu.
Di bagian akhir, setelah ucapan salam penutup, terdapat keterangan: “Katabahu al-faqir Bisri bin Syansuri Denanyar Jombang” (ditulis oleh al-faqir Bisri bin Syansuri, Denanyar, Jombang). Hal ini menunjukkan secara meyakinkan bahwa nasihat KH Hasyim Asy’ari tersebut ditulis oleh KH Bisri Syansuri.
Pada 09-12 April 1961, Pesantren Luhur Malang mengadakan semacam Seminar Aswaja, dengan narasumber para ulama.Di antara yg diundang sebagai pembahas adalah KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syansuri. Paparan makalah Kiai Bisri diunggah oleh website Pesantren Luhur Malang.
Kiai Bisri juga menyimpan dan menulis beberapa catatan pinggir kitab dan sampai saat ini manuskrip tersebut masih tersimpan rapi di Perpustakaan Ndalem Kasepuhan. Saat ini masih ditelusuri terus untuk dipilah mana yang merupakan hasyiah atau syarah yang dilakukan beliau dan mana yang merupakan sekedar simpanan khazanah pesantren. Di samping peninggalan karya kitab, Kiai Bisri juga rajin mengarsip dokumen keorganisasian. Keputusan Musyawarah Ulama Terbatas tentang KB, beberapa lembar keputusan Bahtsul Masail, adalah di antara dokumen yang masih tersimpan rapi.
Di samping itu Kiai Bisri juga menyimpan surat menyurat para kiai. Memang, para kiai pada masa lampau biasa berkomunikasi melalui surat. Dalam dokumen keluarga Kiai Bisri Syansuri, ada cukup banyak koleksi surat-menyurat, misalnya surat Kiai Ali Makshum (Rais ‘Aam PBNU, 1981-1984), Kiai Ahmad Shiddiq (Rais ‘Aam PBNU, 1984-1991), Kiai Sahal Mahfudz (Rais ‘Aam PBNU, 1999-2014), dan lain-lain. Kumpulan korespondensi itu penting, karena berkaitan dengan persoalan dan kemaslahatan umat Islam dan khususnya Nahdliyin, contohnya aspirasi KH Bisri Syansuri dan KH Ali Ma’shum yang mendesak Presiden Suharto agar menggagalkan suatu acara besar yang berpotensi meresahkan umat Islam.
Ketika wafat pada 09/10 Jumadil Akhir 1400 H, atau Jumat 25 April 1980 dalam usia 93 tahun, Kiai yang dikenal wirai ini ditakziahi ribuan warga, Nahdliyin dan para tokoh. Innalillah wainna ilaihi rajiun.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
3
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua