Riset: Krisis Iklim dan Tata Kelola Buruk Persempit Ruang Aman Warga Marunda, Bantargebang, Pulau Pari
NU Online · Jumat, 19 Desember 2025 | 11:30 WIB
Jakarta, NU Online
Greenpeace Indonesia menyoroti krisis iklim dan lingkungan di tengah minimnya ruang aman bagi warga Jakarta.
Hasil riset terbaru bersama The SMERU, Greenpeace mengkaji kondisi masyarakat di Bantargebang, Marunda, dan Pulau Pari. Tiga wilayah ini menjadi cermin kontras kota yang terus membesar, sedangkan ruang aman bagi sebagian warganya semakin menyempit.
Juru Kampanye Keadilan Iklim Greenpeace Indonesia Jeanny Sirait mengatakan bahwa ketiga wilayah ini menghadapi masalah yang hampir serupa, di antaranya dominasi kepentingan ekonomi besar atas ruang hidup warganya, serta lemahnya tata kelola dan layanan dasar dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.
“Masalah-masalah ini pun diperparah dengan krisis iklim dan lingkungan yang memperburuk kerentanan sosial dan ekonomi warga di ketiga wilayah ini,” ujarnya, sebagaimana dikutip NU Online Jakarta.
Krisis iklim yang memicu abrasi terjadi di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, menggerus 7 hingga 10 meter garis pantai. Kemudian warga Rusunawa Marunda, Jakarta Utara, masih harus menanggung efek domino dari pencemaran udara yang ditimbulkan dari aktivitas industri ekstraktif besar yang mengepung kawasan permukiman tersebut.
Sementara volume sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang yang terus meningkat makin memperburuk kondisi lingkungan dan kehidupan warga sekitar.
“Krisis iklim dan lingkungan yang terjadi di ketiga wilayah ini pun semakin memperburuk kondisi sosial dan ekonomi warga yang jadi kelompok rentan akibat kemiskinan struktural serta minimnya partisipasi warga dalam kebijakan iklim dan perkotaan dari Pemprov Jakarta,” jelasnya.
Di sisi lain, warga Pulau Pari, Marunda, dan Bantargebang terus beradaptasi dengan mengembangkan solusi berbasis komunitas yang mampu menjawab kebutuhan lokal di daerah mereka. Meskipun mereka kerap dilupakan dan dilibatkan dalam pembuatan kebijakan.
Warga Pulau Pari, misalnya, mereka menginisiasi penanaman mangrove sebagai upaya untuk mengatasi abrasi, banjir rob, serta pemulihan habitat ikan dan ekosistem laut. Para nelayan juga melakukan adaptasi perikanan tangkap dan budidaya untuk mengatasi turunnya volume tangkapan di tengah suhu laut yang semakin tinggi.
Sementara warga di sekitar TPST Bantargebang pun mengembangkan budidaya maggot untuk mengolah sampah organik, serta mengelola tempat pengelolaan sampah reduce, reuse, recycle (TPS3R) sebagai upaya pengelolaan sampah plastik dan material lain yang masih memiliki nilai ekonomi.
Bagi warga Rusunawa Marunda yang mayoritas hidup di bawah garis kemiskinan, inisiasi program pengelolaan greenhouse untuk memenuhi kebutuhan pangan serta pemberdayaan ekonomi perempuan, membantu memperkuat ketahanan ekonomi warga di tengah keterbatasan lapangan kerja dan kemiskinan struktural yang terjadi di Marunda.
Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 90 Tahun 2021 tentang Rencana Pembangunan Rendah Karbon dan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 tahun 2019 tentang pelibatan masyarakat dalam berbagai tahapan pengolahan sampah dinilai tidak berjalan optimal.
“Dukungan regulasi di tingkat nasional sangat dibutuhkan, RUU Keadilan Iklim yang saat ini masih terparkir di DPR perlu segera disahkan agar pelibatan warga dalam mengatasi krisis iklim dapat dimaksimalkan,” tegasnya.
Baca selengkapnya di sini.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Dari Musibah menuju Muhasabah dan Tobat Kolektif
2
Gus Yahya Berangkatkan Tim NU Peduli ke Sumatra untuk Bantu Warga Terdampak Bencana
3
Kiai Miftach Moratorium Digdaya Persuratan, Gus Yahya Terbitkan Surat Sanggahan
4
Khutbah Jumat Akhir Tahun 2025: Renungan, Tobat, dan Menyongsong Hidup yang Lebih Baik
5
Khutbah Jumat: Ketika Amanah Diberikan kepada yang Bukan Ahlinya
6
Pesantren Lirboyo Undang Mustasyar PBNU hingga PWNU dan PCNU dalam Musyawarah Kubro
Terkini
Lihat Semua