Nasional

Amnesty: Penahanan Massal Aktivis Jadikan 2025 Tahun Paling Gelap bagi HAM

NU Online  ·  Senin, 29 Desember 2025 | 22:44 WIB

Amnesty: Penahanan Massal Aktivis Jadikan 2025 Tahun Paling Gelap bagi HAM

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid saat ditemui NU Online di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kemayoran, Jakarta, Senin (29/12/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)

Jakarta, NU Online

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menilai penahanan massal terhadap aktivis sepanjang 2025 tidak hanya merampas kemerdekaan individu, tetapi juga menimbulkan penderitaan psikologis mendalam bagi keluarga para tahanan. Ia menyebut dampak tersebut sering kali luput dari perhatian publik dan negara.


“Dampak dari penahanan ini pertama tentu terhadap kemerdekaan mereka sendiri, dan yang kedua terhadap keluarga mereka. Itu mengalami tantangan psikologis yang cukup serius. Bayangkan orang-orang tua mereka yang seharusnya mungkin bisa istirahat di rumah atau menikmati masa liburan, tetapi justru harus bolak-balik ke Polda dan bolak-balik ke pengadilan,” ujar Usman kepada NU Online di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kemayoran, Jakarta, Senin (29/12/2025).


Usman menegaskan bahwa penahanan massal aktivis telah mencederai perjalanan demokrasi Indonesia sepanjang 2025. Menurutnya, pola penangkapan, penahanan, hingga pemenjaraan yang meluas di berbagai daerah menjadikan tahun ini sebagai periode paling kelam bagi hak asasi manusia sejak reformasi. Ia juga menegaskan bahwa penangkapan massal aktivis menjadikan 2025 sebagai tahun paling gelap bagi hak asasi manusia (HAM).


“Dampak yang lebih besar bagi Indonesia adalah perkara ini mencederai perjalanan tahun 2025. Dengan penangkapan massal, penahanan massal, dan pemenjaraan berbagai aktivis di sejumlah wilayah, maka tahun 2025 menjadi tahun yang gelap bagi hak asasi manusia. Bahkan kami di Amnesty sampai pada kesimpulan bahwa ini adalah tahun yang bisa disebut sebagai tahun malapetaka nasional hak asasi manusia,” tegasnya.


Usman menjelaskan, sejak awal tahun hingga akhir Desember, publik terus disuguhi berbagai bentuk pelanggaran HAM. Pelanggaran tersebut tidak hanya menyasar hak sipil dan politik melalui pemenjaraan aktivis, tetapi juga hak ekonomi, sosial, dan budaya seperti perampasan lahan, deforestasi, hingga kegagalan negara dalam menangani krisis ekologis.


“Sejak Januari, Februari, Maret, terus sampai Desember, kita disuguhi berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, baik hak-hak sipil dan politik seperti pemenjaraan ini, maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya seperti perampasan lahan dan deforestasi. Bahkan di penghujung tahun kita diperlihatkan dengan ketidakmampuan pemerintah mengatasi krisis bencana ekologis di Aceh,” katanya.


Menurutnya, dalam situasi krisis ekologis, negara seharusnya hadir secara humanis dan persuasif. Namun, yang tampak justru sebaliknya, yakni pendekatan represif yang memperburuk keadaan.


“Di tengah krisis ekologis itu, pemerintah dituntut menjadi sangat humanis dan persuasif, tetapi yang kita lihat justru masih memperlihatkan watak represif. Karena itu, saya kira tahun ini mungkin tahun yang paling gelap sepanjang reformasi, tahun di mana hak asasi manusia mengalami erosi paling parah,” ujarnya.


Usman juga menyoroti kemunculan kembali tahanan politik di berbagai wilayah Indonesia. Jika sebelumnya praktik tersebut cenderung terbatas pada Papua, kini menurutnya meluas hingga ke wilayah Jawa.


“Di era pemerintahan sebelumnya, hampir tidak ada lagi yang disebut sebagai tahanan politik. Di era SBY dan Jokowi masih ada, mungkin untuk Papua. Tetapi di era ini bukan hanya Papua, melainkan juga Jawa, seperti di Kediri, Yogyakarta, Magelang, dan Jakarta, dengan jumlah yang sangat banyak,” kata Usman.


Ia memaparkan berdasarkan catatan LBH, setidaknya lebih dari 6.000 orang ditangkap dalam rangkaian aksi sepanjang 2025. Sementara Amnesty mencatat sekitar 4.700 orang ditangkap, dengan sekitar seribuan orang ditetapkan sebagai tersangka.


“Artinya, ada ribuan orang yang ditangkap tanpa dasar hukum yang jelas. Itu yang disebut polisi sebagai pengamanan, padahal menanggulangi unjuk rasa bukan pengamanan, melainkan pelayanan dan perlindungan. Kalau ada demonstrasi, tugas negara bukan melarang, tetapi melindungi,” tegasnya.


Ia menambahkan, jika terjadi kerusuhan dalam demonstrasi, aparat seharusnya menindak pelaku kekerasan secara selektif, bukan menangkap seluruh peserta aksi. Negara, kata dia, telah memiliki aturan dan prosedur untuk memisahkan demonstran damai dari pelaku perusuhan.


“Kalau ada yang rusuh, pelaku perusuhnya yang ditindak, tetapi demonstrasi damai harus tetap dilindungi dan dilayani. Demonstrasi yang tidak sepenuhnya damai bukan alasan bagi negara untuk membubarkan atau menangkap semua orang,” ujarnya.


Usman juga mengkritik belum dibentuknya tim gabungan pencari fakta oleh pemerintah. Menurutnya, tanpa tim tersebut, aparat cenderung menyasar pihak yang mengajak demonstrasi, bukan pelaku kerusuhan yang sebenarnya.


“Yang dilakukan kepolisian dalam kasus ini bukanlah mencari siapa yang menyebabkan kerusuhan, tetapi siapa yang mengajak demonstrasi. Padahal mengajak demonstrasi adalah hak yang dilindungi undang-undang,” katanya.


Usman menyoroti pula lambannya proses penangguhan penahanan terhadap sejumlah aktivis yang ditangkap sejak awal September. Hingga kini, permohonan penangguhan mereka belum juga dikabulkan, bahkan tanpa penjelasan yang transparan.


“Saya tidak menyangka sampai hari ini permohonan penangguhan mereka tidak juga didengarkan, bahkan tidak disampaikan apa pertimbangannya. Padahal ada contoh baik seperti di Kediri, di mana pengadilan sudah menangguhkan penahanan, dan itu seharusnya bisa diteladani,” ujarnya.


Usman juga menyayangkan penundaan sidang hingga awal Januari yang berarti para tahanan harus merayakan pergantian tahun di balik jeruji besi. Ia pun menekankan pentingnya pendekatan kemanusiaan dalam penegakan hukum.


“Itu artinya mereka harus merayakan tahun baru di balik jeruji. Lihat keluarga mereka, ibu-ibu dan ayah-ayahnya. Seharusnya ada pertimbangan kemanusiaan,” pungkasnya.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang