Pustaka

Kitab At-Tibyan: Panduan Berakhlak terhadap Al-Qur’an

Sabtu, 3 Februari 2024 | 10:30 WIB

Kitab At-Tibyan: Panduan Berakhlak terhadap Al-Qur’an

Ilustrasi: Kitab At-Tibyan karya Imam An-Nawawi (NU Online - Ahmad Muntaha AM)

Kitab At-Tibyan karya Al-Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi atau lebih dikenal sebagai Imam An-Nawawi, merupakan salah satu kitab penting tentang cara berakhlak terhadap Al-Qur’an. 
 

Membaca Al-Qur’an merupakan salah satu rutinitas ibadah umat Islam, baik yang bersifat wajib seperti membaca surat Al-Fatihah di dalam shalat, maupun yang bersifat sunah seperti membaca Al-Qur’an di luar shalat. Karenanya, kitab ini menjadi sangat penting untuk dipahami dan diamalkan sebagai wujud adab terhadap Al-Qur’an.
 

Judul lengkap kitab adalah At-Tibyân Fî Âdâbi Ḫamalatil Qur`an (Penjelas tentang Adab Para Pembawa Al-Qur’an), karya tulis yang membahas tentang bagaimana cara bersikap terhadap Al-Qur’an saat membaca, mempelajari dan mengajarkannya, serta bagaimana adab kepada Mushaf Al-Qur’an dan ahli Al-Qur’an. 
 

Pada abad ke-7 Hijriyah, kitab ini ditulis oleh seorang tokoh terkemuka, ulama besar Mazhab Syafi'i bernama Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi Ad-Dimasyqi, atau lebih dikenal sebagai Imam An-Nawawi. Beliau lahir di desa Nawa, dekat kota Damaskus, pada tahun 631 H dan wafat pada tahun 24 Rajab 676 H. Kedua tempat tersebut kemudian menjadi nisbat nama beliau, An-Nawawi Ad-Dimasyqi. 
 

Sebagaimana disampaikan dalam mukadimah, Kitab At-Tibyan ini dikarang karena melihat fenomena masyarakat Damaskus yang bersemangat untuk mendalami Al-Qur’an. Dari situ beliau berpikir perlu adanya kitab panduan adab bagi masyarakat dalam menggeluti Al-Qur’an.
 

Dalam menyajikan Kitab At-Tibyan Imam An-Nawawi memilih untuk membuatnya berbentuk mukhtashar, yaitu kitab yang kecil dan ringkas namun tetap memuat pokok-pokok pembahasan yang dinilai penting. Pilihan ini dilatarbelakangi karena sudah banyak kitab-kitab yang membahas tentang keutamaan Al-Qur’an, akan tetapi kitab-kitab tersebut jarang dibaca dan kurang diminati. Karena itu, dengan menjadikan Kitab At-Tibyan berbentuk mukhtashar, beliau berharap agar kitab ini mudah dibaca, diminati banyak orang dan tidak membosankan. 
 

Kitab At-Tibyan memang diperuntukkan kepada masyarakat umum, dengan pembahasan yang sistematis dalam sepuluh bab dan beberapa pasal, serta tidak diperpanjang pembahasannya. Pada bagian akhir, Kitab ini dilengkapi dengan kamus Bahasa Arab untuk menjelaskan lafal-lafal yang tidak umum atau gharib

 

Jika kita bandingankan dengan kitab akhlak yang lain, semisal kitab Ihya’ Ulumiddin karya Hujjatul Islam Al-Ghazali, dimana dalam kitab ini terdapat Bab Adabu Tilawatil Qur’an (Adab Membaca Al-Qur’an), maka Kitab At-Tibyan cukup berbeda. Jika dalam Kitab Ihya’ dicantumkan banyak dalil tentang Al-Qur’an, maka dalam Kitab At-Tibyan Imam An-Nawawi membatasi beberapa dalil saja yang dianggap perlu. Selain itu, KKitab At-Tibyan juga lebih banyak fokus menjelaskan furu’iyah (pengembangan-pengembangan) fiqih dan adab yang berkaitan dengan Al-Qur’an. 
 

Dalam penyajiannya, Kitab At-Tibyan memiliki sepuluh bab pokok yaitu: 

  1. Bab pertama tentang keutamaan membaca Al-Qur’an dan orang-orang yang menghafalkannya. 
  2. Bab kedua tentang lebih diutamakannya membaca Al-Qur’an dan ahli Al-Qur’an dari pada yang lainnya.
  3.  Bab ketiga tentang memuliakan ahli Al-Qur’an dan larangan menyakiti mereka
  4. Bab keempat tentang adab orang yang mengajar Al-Qur’an dan yang belajar Al-Qur’an.
  5. Bab kelima tentang adab orang yang hafal Al-Qur’an dan pahalanya.
  6. Bab keenam tentang adab membaca Al-Qur’an.
  7. Bab ketujuh tentang adab masyarakat umum terhadap Al-Qur’an. 
  8. Bab kedelapan tentang ayat-ayat dan surat-surat yang dianjurkan dalam waktu dan keadaan tertentu.
  9. Bab kesembilan tentang menulis Al-Qur’an dan memuliakan Musḫaf.
  10. Bab kesepuluh tentang definisi lafal-lafal yang ada dalam Kitab At-Tibyan ini.


Di antara hal yang ditekankan oleh Imam An-Nawawi dalam kitab ini adalah mendorong kepada para pembaca Al-Qur’an untuk selalu menghormati Al-Qur’an, terutama saat membaca bersama dalam majelis Al-Qur’an. Karena terkadang dalam majelis seperti ini banyak obrolan, candaan dan tidak fokus menyimak bacaan Al-Qur’an. Hendaknya majelis seperti ini diikuti dengan penuh khidmat dan khusyu’. Berikut redaksi pernyataannya:
 

 فَصْلٌ:  وَمِمَّا يُعْتَنَى بِهِ وَيَتَأَكَّدُ الْأَمْرُ بِهِ احْتِرَامُ الْقُرْآنِ مِنْ أُمُوْرٍ قَدْ يَتَسَاهَلُ فِيْهَا بَعْضُ الْغَافِلِيْنَ الْقَارِئِيْنَ مُجْتَمِعِيْنَ فَمِنْ ذَلِكَ اجْتِنَابُ الضَّحْكِ وَاللَّغْطِ وَالْحَدِيْثِ فِي خِلَالِ الْقِرَاءَةِ إِلَّا كَلَامًا يَضْطَرُّ إِلَيْهِ وَلْيَمْتَثِلْ قَوْلَ اللهِ تَعَالَى وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ وَأَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
 

Artinya, “[Pasal] Salah satu hal yang harus dijaga dan diperintahkan adalah menghormati Al-Qur'an dari hal-hal yang mungkin diremehkan oleh sebagian pembaca yang lalai yang sedang membaca bersama. Termasuk di antaranya menghindari tertawa, ramai-ramai dan berbicara di sela-sela membaca Al-Qur’an, kecuali kata-kata yang mendesak harus diucapkan, dan hendaknya menaati apa yang difirmankan Allah swt. Apabila Al-Qur'an dibacakan, dengarkanlah dan perhatikanlah, agar kamu mendapat rahmat.”(Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, At-Tibyân Fî Âdâbi Ḫamalatil Qur`an, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2017] halaman 62).
 

Imam An-Nawawi juga menjelaskan terkait berapa kadar banyaknya membaca Al-Qur’an setiap harinya? Beliau memerinci menjadi tiga, yaitu:

  1. Bagi orang yang mampu memahami makna Al-Qur’an dengan mendalam, hendaknya lebih memprioritaskan hasilnya pemahaman dan tidak terlalu banyak membaca Al-Qur’an yang berdampak kurang dapat memahami makna Al-Qur’an. 
  2. Bagi orang yang memiliki kesibukan berdakwah, mengajar, atau tugas lain yang berkaitan dengan maslahat umat, hendaknya ia tetap memprioritaskan kesibukannya dan membaca Al-Qur’an disela-sela kesibukannya selama tidak mengganggu kesibukannya tersebut. 
  3. Bagi orang yang tidak mampu memahami makna Al-Qur’an serta tidak memiliki kesibukan yang berkaitan dengan kemaslahatan umat, hendaknya ia membaca Al-Qur’an sebanyak-banyaknya. 


 

Sebagaimana dalam pernyataan berikut: 
 

 

وَالْاِخْتِيَارُ أَنَّ ذَلِكَ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَشْخَاصِ فَمَنْ كَانَ يَظْهَرُ لَهُ بِدَقِيْقِ الْفِكْرِ لَطَائِفُ وَمَعَارِفُ فَلْيَقْتَصِرْ عَلَى قَدْرِ مَا يَحْصُلُ لَهُ كَمَالُ فَهْمِ مَا يَقْرَؤُهُ وَكَذَا مَنْ كَانَ مَشْغُوْلًا بِنَشْرِ الْعِلْمِ أَوْ غَيْرِهِ مِنْ مُهِمَّاتِ الدِّيْنِ وَمَصَالِحِ الْمُسْلِمِيْنَ الْعَامَّةِ فَلْيَقْتَصِرْ عَلَى قَدْرٍ لَا يَحْصُلُ بِسَبَبِهِ إِخْلَالٌ بِمَا هُوَ مُرْصَدٌ لَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ هَؤُلَاءِ الْمَذْكُوْرِيْنَ فَلْيَسْتَكْثِرْ مَا أَمْكَنَهُ مِنْ غَيْرِ خُرُوْجٍ إِلَى حَدِّ الْمَلَلِ وَالْهَذْرَمَةِ

 

Artinya, “Pendapat yang dipilih (menurut Imam An-Nawawi) bahwa membaca Al-Qur’an ini berbeda-beda tergantung orangnya, bagi orang yang mempunyai pemikiran mendalam yang dapat memahami makna-makna rumit dan pengetahuan yang tepat, maka hendaklah dia membatasi dirinya sampai pada pemahaman yang utuh atas apa yang dibacanya, demikian pula bagi orang yang sibuk menyebar ilmu atau urusan lainnya dari kepentingan agama dan maslahat umum umat Islam, hendaklah dia membatasi dirinya sekira tidak mengganggu apa yang menjadi tugasnya. Jika dia bukan salah satu dari orang-orang tersebut, maka hendaklah dia membaca Al-Qur’an semaksimal mungkin sampai pada titik kebosanan dan kesembronoan.” (An-Nawawi, At-Tibyân, halaman 40).
 

Dari ulasan di atas dapat disimpulkan, Kitab At-Tibyan cocok dipelajari oleh orang-orang yang mendalami dan menghafal Al-Qur’an, selain karena faktor ringkas dan praktis, muatannya juga fokus terhadap adab dan fiqih yang berkaitan dengan Al-Qur’an, sehingga dapat dengan mudah difahami, serta memuat banyak furu’iyah (pengembangan-pengembangan) fiqih keseharian. Wallahu a’lam. 

 

 

Identitas Kitab

Judul: At-Tibyân Fî Âdâbi Ḫamalatil Qur`an
Penulis: Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi
Tebal: 160 halaman
Penerbit : Darul Kutub Al-Ilmiyah 
Terbit : 2017
ISBN : 9782745176356, 2745176358

 

Muhammad Zainul Millah, Pengajar di Pesantren Fathul Ulum Blitar Jawa Timur