Mengenal Ihya Ulumuddin: Kitab Penghubung Dunia dengan Akhirat
Kamis, 3 Oktober 2024 | 07:00 WIB
M Ryan Romadhon
Kolomnis
Kitab Ihya Ulumuddin adalah karya fenomenal terbesar dan terpopuler Imam al-Ghazali. Kitab ini menjadi referensi dan sumber inspirasi para ahli dan pemikir, sekaligus menjadi pujian dari orang-orang yang mengaguminya atau bahkan yang berseberangan dengannya.
Di awal kitab ini, Imam al-Ghazali mengungkapkan alasan yang melatarbelakanginya menulis kitab Ihya yakni melihat stabilitas keilmuan agama di lingkungan masyarakat sekitar beliau sedang tidak baik-baik saja. Selain itu, banyak ulama yang mulai mereduksi nilai-nilai agama.
Dari judulnya, yakni Ihya Ulumuddin (menghidupkan ilmu-ilmu agama) dapat tergambar kondisi lesunya kehidupan beragama saat itu dan Imam al-Ghazali melakukan upaya untuk kembali menghidupkannya.
Pada saat itu, Imam al-Ghazali menghadapi situasi orang-orang yang berhenti pada tulisan (rasm). Selain itu, para ulamanya juga bersikap demikian. Sehingga Imam al-Ghazali menyebut para ulama itu dengan istilah al-mutarassimun. Mereka hanya mengajarkan kitab, ceramah, memamerkan keilmuan mereka, namun ruh api agama tidak hidup. (Surabaya: Al-Haramain, tt, jilid I, hal. 2-3)
Ahli sejarah mencatat bahwa Imam al-Ghazali pertama kali menulis kitab Ihya tersebut di kota suci Quds, Palestina pada tahun 489 H. Adapun tempat yang dijadikan Imam al-Ghazali untuk menulis kitab Ihya ini berada di ruangan sebelah barat daya, di dekat batu besar di Quds.
Ma’ruf Khozin dalam Mengkaji Ulang Tuduhan Hadits-hadits Palsu Kitab Ihya menyebutkan bahwa tidak sedikit waktu yang dihabiskan oleh Imam al-Ghazali selama menulis kitab ini. Beliau baru selesai menuliskannya setelah melakukan perjalanan panjang menempa batin, dari Baghdad ke kota Syam di Syiria, dan berakhir di kota Thus, Iran. (Depok: Sahifa Publishing, 2021, hal. 27-28)
Isi Kitab Ihya Ulumuddin
Adapun pokok pikiran yang hendak dituangkan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya, sebagaimana dalam mukadimahnya, adalah menjelaskan masalah ilmu yang menjadi media penghubung antara kehidupan dunia dengan akhirat. Hal ini karena dalam banyak kesempatan, beliau selalu mengingatkan bahwa dunia adalah ladang akhirat.
Sedangkan ilmu yang dimaksud oleh beliau adalah ilmu mu’amalah dan mukasyafah. Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ilmu mu’amalah adalah mengamalkan ilmu disertai harapan bisa mengetahui makna yang tersirat dari ilmu tersebut. Sementara yang dimaksud dengan ilmu mukasyafah adalah terbukanya makna esensial yang tersirat dari ilmu (tanpa perlu pengamalan).
Dalam pandangan beliau, ilmu mu’amalah adalah ilmu yang dapat mengantarkan seseorang untuk mengetahui ilmu mukasyafah, karena ke sinilah tujuan akhir bagi para penuntut ilmu.
Ilmu mu’amalah menurut Imam al- Ghazali diklasifikasikan ke dalam dua hal, yaitu ilmu dzahir (perbuatan fisik) dan bathin (perilaku hati). Dari kedua jenis ilmu ini, masing-masing memiliki hubungan keterikatan dengan penilaian terpuji (mahmudah) dan tercela (madzmumah). Sementara ilmu dzahir hanya memiliki keterikatan dengan aspek ibadah dan kebiasaan sehari-hari (adat/tradisi).
Dari pemikiran Imam al- Ghazali yang cemerlang inilah kemudian beliau membuat sistematika penulisan kitab Ihya yang terdiri dari 4 juz dengan uraian sebagai berikut:
Juz I menjelaskan aspek ibadah (rub’u al-‘ibadah), sebagai bagian dari ilmu dzahir. Adapun penjelasannya meliputi: rahasia bersuci, shalat, puasa, zakat, haji, dzikir dan lain sebagainya.
Juz II menjelaskan aspek perilaku keseharian (rub’u al-‘adat), sebagai bagian dari ilmu dzahir juga. Adapun penjelasannya meliputi: pernikahan, pekerjaan, pergaulan, etika, dan lain sebagainya.
Juz III menjelaskan tentang perilaku hati yang bisa merusak diri (rub’u al-muhlikat), sebagai bagian dari ilmu bathin yang tercela (madzmumah). Adapun penjelasannya meliputi: bahaya hawa nafsu, amarah, sombong, iri hati, dendam, menghamba pada materi, gila pangkat, dan lain sebagainya.
Juz IV menjelaskan tentang perilaku hati yang bisa menyelamatkan diri (rub’u al-munjiyyat), sebagai bagian dari ilmu bathin yang terpuji (mahmudah). Adapun penjelasannya meliputi: taubat, syukur, sabar, dermawan, ikhlas, menerima pemberian Allah SWT, jujur, introspeksi diri, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, diantara esensi yang sebenarnya digagas oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya-nya ini adalah memperoleh pengetahuan yang hakiki sebagai buah dari mengamalkan ilmu. (Depok: Sahifa Publishing, 2021, hal. 28-31)
Keistimewaan dan Keutamaan Kitab Ihya Ulumuddin
Syekh Abdul Qadir bin Syekh al-Idrus dalam kitabnya Ta’riful Ahya’ bi Fadha’ilil Ihya mengatakan bahwasannya keistimewaan yang terdapat dalam kitab Ihya sangatlah banyak, tak terhitung. Banyak orang alim yang menyanjungnya, bahkan orang awam sekalipun. (Surabaya: Al-Haramain, tt, jilid I, hal. 8)
Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Segaf pernah mengatakan bahwa tidaklah orang yang mengaji Ihya, keluar dari majelis itu, kecuali dadanya akan terbebas dari penyakit hati, mendapatkan suatu makrifat atau diangkat derajatnya oleh Allah. Akan tetapi jika orang yang keluar dari majelis Ihya, kemudian tidak merasakan apa-apa di dadanya, maka ia harus segera bertobat. Karena bisa jadi ia pernah melakukan dosa besar.
Sayyid Abu Bakar Syatha’ dalam kitab Kifayatul Atqiya’-nya memaparkan beberapa dawuh ulama mengenai keistimewaan dan keutamaan kitab Ihya Ulumuddin. Berikut adalah sebagian darinya:
قال بعض العارفين: والله لو بعث الله الأموات لما أوصوا الأحياء إلا بما فى الإحياء وفيه إنتفاع لأهل الإبتداء والإنتهاء والتوسط لأنه مذكور فيه ما يصلح للفرق الثلاث
Artinya: "Sebagian ulama ahli makrifat mengatakan, “Demi Allah, andaikan Allah menghidupkan kembali orang-orang mati, niscaya mereka tidak akan memberi wasiat kepada orang yang masih hidup, kecuali tentang apa yang telah tertulis dalam kitab Ihya Ulumuddin. Karena di dalamnya memuat banyak ilmu yang bermanfaat bagi orang terdahulu, sekarang dan kemudian, dan yang patut bagi tiga golongan tersebut.”
قال سيدى العيدروس رضى الله عنه : عليكم بملازمة إحياء علوم الدين فهو موضع نظر الله تعالى وموضع رضا الله فمن أحبه وطالعه وعمل بما فيه فقد استوجب محبة الله ومحبة رسوله وملائكته وأنبيائه وأوليائه وجمع بين الشريعة والطريقة والحقيقة فى الدنيا والأخرة وصار عالما فى الملك والملكوت.
Artinya: "Sayyid al-Idrus mengatakan, “Berpegang teguhlah dengan kitab Ihya Ulumuddin, karena ia adalah tempat melihatnya Allah dan tempat mendapat Ridha-Nya. Barang siapa mencintainya, mempelajarinya dan mengamalkannya, maka dia berhak mendapat cinta Allah, cinta Rasulullah, malaikat, para nabi dan para wali. Dan telah memadukan antara syariat, tarekat dan hakikat di dunia dan akhirat. Selain itu, ia juga akan menjadi orang alim seantero dunia dan akhirat.” (Surabaya: Darul ’Ilmi, tt, hal. 91)
Demikianlah ulasan singkat mengenai kitab Ihya Ulumuddin. Dengan membaca kitab ini, harapannya para pembaca akan menjadikannya sebagai rujukan dalam memahami ilmu yang menjadi media penghubung antara kehidupan dunia dengan akhirat. Wallahu a’lam.
Identitas Kitab
Judul: Ihya ‘Ulumuddin
Penulis: Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali (w. 505 H)
Penerbit: Al-Haramain
Kota Terbit: Surabaya
Jumlah Juz: 4 juz
Peresensi: M. Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman Bulus Purworejo, Jawa Tengah.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
2
Cerita Rayhan, Anak 6 Tahun Juara 1 MHN Aqidatul Awam OSN Zona Jateng-DIY
3
Peran Generasi Muda NU Wujudkan Visi Indonesia Emas 2045 di Tengah Konflik Global
4
Luhut Binsar Pandjaitan: NU Harus Memimpin Upaya Perdamaian Timur Tengah
5
OSN Jelang Peringatan 100 Tahun Al-Falah Ploso Digelar untuk Ingatkan Fondasi Pesantren dengan Tradisi Ngaji
6
Pengadilan Internasional Perintahkan Tangkap Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant atas Kejahatan Kemanusiaan
Terkini
Lihat Semua