Nasional

Aktivis: Negara Makin Otoriter, Anak Muda yang Bersuara Justru Dikriminalisasi

NU Online  ·  Selasa, 9 Desember 2025 | 19:15 WIB

Aktivis: Negara Makin Otoriter, Anak Muda yang Bersuara Justru Dikriminalisasi

Perwakilan Gerakan Muda Lawan Kriminalisasi (GMKL) Balqis Zakkiyah dalam Ngobrol Bareng bertema Menerangi Katastrofe HAM: Urgensi Gerakan Warga di Tengah Kuasa yang Mengaburkan Kebenaran di Twin House, Kala di Kalijaga, Blok M, Jakarta Selatan, Selasa (9/12/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)

Jakarta, NU Online

Perwakilan Gerakan Muda Lawan Kriminalisasi (GMKL) Balqis Zakkiyah mengungkap adanya pola kriminalisasi yang semakin masif terhadap para demonstran pasca-Reformasi, terutama setelah aksi protes pada 29-31 Agustus lalu.


Balqis menjelaskan bahwa pada gelombang demonstrasi sebelumnya, penangkapan massa aksi seringkali berujung pada pembebasan tanpa proses hukum. Namun, pada aksi Agustus 2025, puluhan demonstran justru diproses hingga persidangan. Ia menilai praktik penangkapan, penahanan, hingga persidangan para aktivis muda kini berlangsung secara tidak wajar dan mengintimidasi.


“Di Jakarta Utara saja, ada 60 orang yang kini memasuki tahap persidangan. Semuanya dipukul rata dengan pasal pengeroyokan dan penyerangan terhadap aparat kepolisian,” ujarnya dalam Ngobrol Bareng bertema Menerangi Katastrofe HAM: Urgensi Gerakan Warga di Tengah Kuasa yang Mengaburkan Kebenaran di Twin House, Kala di Kalijaga, Blok M, Jakarta Selatan, Selasa (9/12/2025).


Balqis menyayangkan bahwa suara anak muda kini kerap diintimidasi dan dikriminalisasi, padahal pada Pemilu tahun lalu Gibran Rakabuming justru diangkat sebagai simbol anak muda yang layak diberi ruang memimpin.


“Ketika proses pemilu tahun lalu, Gibran dikampanyekan sebagai orang muda yang berhak untuk mendapat kesempatan memimpin, tetapi tahun ini justru orang muda yang bersuara sering diintimidasi yang mencerminkan pemerintah yang otoriter ini justru ketakutan dengan suara-suara anak muda,” paparnya.


Balqis menilai tuduhan dengan pasal pengeroyokan dan penyerangan terhadap aparat tidak sebanding dengan kondisi para tahanan. Berdasarkan pemantauan lapangan, banyak demonstran mengalami luka berat, bahkan beberapa datang ke persidangan menggunakan kursi roda atau tongkat.


“Jadi, mereka mengalami kekerasan yang sangat, sangat, sangat parah gitu. Tapi sayangnya, negara tidak melihat itu,” tegasnya.


Di Jakarta Pusat, situasi serupa juga terjadi, sejumlah demonstran menjalani proses hukum tanpa akses yang layak terhadap pendampingan hukum maupun keluarga.


“Kami menemukan kasus di mana tahanan tidak boleh menerima titipan makanan, tidak boleh dikunjungi, bahkan dikurung di sel tikus selama berhari-hari. Ini menunjukkan praktik penahanan yang sangat buruk,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, perwakilan Whiteboard Journal M Hilmy mengakui bahwa ruang kebebasan berekspresi bagi media juga semakin menyempit. Menurutnya, meskipun media masih dapat menerbitkan tulisan kritis, proses penyaringan internal kini jauh lebih ketat.


“Kami melakukan self-censorship berkali-kali sebelum artikel kritis ditayangkan. Kami ingin konten tetap aman bagi penulis maupun redaksi,” jelasnya.


Meski demikian, Hilmy melihat minat anak muda terhadap isu sosial justru meningkat dengan respon yang meningkat di konten yang memuat kritik sosial atau perspektif aktivisme dibanding konten lifestyle. Namun, menurutnya, tantangan saat ini adalah menerjemahkan kesadaran (awareness) menjadi aksi nyata.


“Netizen mudah berpindah perhatian. Hari ini membicarakan reformasi atau korupsi, besok sudah berganti isu lain karena distraksi media sosial. Kalau atensi besar ini tidak dikelola, ia akan lewat begitu saja,” ujarnya.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang