Nasional

Perpanjangan Usia Pensiun Perwira Dinilai Picu Stagnasi dan Diskriminasi Internal TNI

NU Online  ·  Rabu, 5 November 2025 | 12:45 WIB

Perpanjangan Usia Pensiun Perwira Dinilai Picu Stagnasi dan Diskriminasi Internal TNI

Gambar ini hanya sebagai ilustrasi berita. (Foto: web resmi tni.mil.id)

Jakarta, NU Online

Kuasa hukum para pemohon dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan Bhatara Ibnu Reza menilai bahwa kebijakan perpanjangan usia pensiun dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) berpotensi menimbulkan masalah serius di tubuh militer.


Saat membacakan isi permohonan Perkara Nomor 197/PUU-XXIII/2025 itu, ia menjelaskan bahwa jumlah lulusan akademi militer yang terus meningkat tidak sebanding dengan jumlah jabatan yang tersedia, sehingga berisiko menimbulkan stagnasi karier, pemborosan anggaran, dan semakin besarnya keterlibatan militer dalam urusan sipil.


"(Sehingga) semakin besarnya risiko militer terlibat dalam urusan sipil yang melegitimasi dwifungsi TNI," katanya saat sidang pemeriksaan di Gedung MK RI, Jakarta Pusat, pada Selasa (4/11/2025).


Ia mengutip kajian Indonesia Strategic and Defense Studies (ISDS) bahwa kebijakan memperpanjang usia pensiun justru memperparah kondisi penumpukan perwira tinggi (Pati) dan perwira menengah (Pamen).


"Sampai dengan akhir tahun 2023, ada perwira tinggi non-job minimal 120 orang dan kolonel minimal 310 orang," katanya.


Lebih lanjut, kondisi ini diperburuk oleh sistem karier yang belum tertata, faktor subjektif dalam promosi jabatan, serta perubahan aturan yang kerap terjadi di lingkungan TNI.


"Saat ini terjadi stagnasi di level kolonel dan Pati, sementara jumlah Bintara hingga Letkol kurang," jelasnya.


Akibatnya, perpanjangan masa pensiun justru mempersempit peluang regenerasi dan menciptakan hambatan atau titik lemah yang melekat pada struktur dasar atau sistematis di tubuh internal TNI.


Bhatara mengutip pendapat Brigjen TNI (Purn) Sisriadi, mantan Sekretaris Ditjen Kuathan Kementerian Pertahanan, yang menyebut perlunya tiga langkah konkret untuk mengatasi penumpukan perwira tinggi. Langkah tersebut mencakup tiga hal. Pertama, penataan masa dinas perwira (MDP) melalui revisi aturan pembinaan karier


"Kedua, penataan sistem kaderisasi kolonel dan pati melalui perumusan kebijakan tentang alokasi pendidikan Sesko di masing-masing angkatan. Ketiga, Kementerian Pertahanan harus melakukan perubahan kebijakan pemisahan prajurit melalui revisi peraturan pemerintahan. Pemerintah yang mengatur bidang administrasi prajurit dan seharusnya dianggap dibacakan," terangnya.


Sebagai informasi, permohonan perkara UU TNI ini dimohonkan oleh lima badan hukum yakni Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial/Pemohon I), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI/Pemohon II), Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS/Pemohon III), Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (Pemohon IV), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta (Pemohon V).


Kemudian tiga orang warga yang masuk sebagai Pemohon yaitu Ikhsan Yosarie (Pemohon VI), Mochamad Adli Wafi (Pemohon VII), dan Muhammad Kevin Setio Haryanto (Pemohon VIII).

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang